Sabtu, 12 Oktober 2013

Persyaratan dan Materi Tes Masuk LIPIA Jakarta

JURUSAN YANG DIBUKA
1. I’dad Lughowi (Persiapan Bahasa)
• Masa kuliah : 2 tahun ( 4 semester)
• Materi Test Masuk : Keahlian bahasa, meliputi nahw, shorf, insya’, reading, listening dll.
2. Takmily (Pra Universitas)
• Masa kuliah: 1 tahun ( 2 semester)
• Materi Test Masuk : Keahlian bahasa, meliputi nahw, shorf, insya’, adab (sejarah sastra), balaghoh (sastra) dll.
3. Syariah (S1)
• Masa kuliah: 4 tahun ( 8 semester )
• Materi Test Masuk : Tauhid, fiqih, hadits, ilmu hadits, nahw, shorf, tsaqofah, hafalan quran, dll.
4. Diplom Umum dan Administrasi Keuangan
• Masa kuliah : 1 tahun (2 smester) dan 2 tahun (4 smester)
• Lebih jelas di sini

Sabtu, 05 Oktober 2013

SUMBER HUKUM ISLAM YANG MUKHTALAF



Sumber hukum islam yang masih diperselisihkan (mukhtalaf) di kalangan para ulama selain adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘uruf, madzhab As Shahâbi, Saduz Dzariah,  syar’u man qablana.
A.     Istihsân
1.    Pengertian
Secara bahasa Ihtisan berasal dari kata “hasan” yang berarti adalah baik dan lawan dari “qobaha” yang berarti buruk. Kemudian di tambah tiga huruf yaitualif- sin dan ta’, bewazan istif’al ,sehingga menjadi istahsana- yastahsinu- istihsaanan. Kata benda (mashdar) yang berarti menganggap dan meyakini sesuatu itu baik (baik secara fisik atau nilai) lawan dari Istiqbah, yaknimenganggap sesuatu itu buruk. Jadi, dari segi bahasa istihsân bermaknamemandang baik sesuatu atau mencari yang lebih baik untuk diikuti.
a.    Menurut  Abu Zahroh
Ungkapan tentang dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri (karena) ketidaksanggupannya untuk memunculkannya disebabkan tidak adanya kata/ ibarah yang dapat membantu mengungkapankannya.
b.   Menurut Al Fairuz Abadi
Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum/ menyeluruh.
c.    Menurut Al Jayzani
Beralihnya seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan yang serupa karen adanya kesamaan-kesamaan kepada hal yang berbeda karena pertimbangan yang lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang pertama.
d.   Menurut Al Hilwani dan Al Hanafi
Istihsan ialah menukar perkara yang berasal dari Qias kepada Qias yang lebih kuat. Hal ini disebut Qias khafi yang tersembunyi illat nya.
e.    Menurut Imam Abu Hasan Al Karkhi
Merupakan penetapan hukum oleh mujtahid terhadap sesuatu masalah yang menyimpang daripada ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yng sama disebabkan alasan yang lebih kukuh.

f.     Menurut Jumhur ulama' Usul
Istihsan adalah menukarkan sesuatu hukum kulli kepada huklum juziyy (pengecualian)
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara” yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkann
2.   Dasar Hukum
a.   Al Qur’an
“ yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az Zumar; 18)
 “ dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS. Al Hajj :78)
b.   Hadis
Hadits  Nabi SAW,
Anas r.a berkata “Rosullah SAW bersabda, sebaik-baik agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya;dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya”. (HR Ibnu Bar)
3.   Kedudukan istihsan sebagai sumber hukum
Ada tiga sikap dan pandangan ulama dalam menggunakan istihsan sebagai sumber hukum Islam. Ada yang menolak istihsan sebagai sumber hukum Islam sama sekali. Mereka adalah kelompok ulama yang menafikan qiyas seperti Daud Azh Zhohiry, Mu’tazilah dan sebagian Syi’ah. Ada yang menjadikan istihsan sebagai sumber hukum Islam. Mereka adalah kelompok ulama Hanafiah, khususnya tokoh sentralnya Abu Hanifah. Dan yang lain adalah kelompok yang kadang menggunakan istihsan dan kadang menolaknya seperti Imam Syafi’i.
Secara umum ada dua pendapat ulama dalam hal ini:
a.    Ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum.
Diantara ulama yang beranggapan sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi dan Imam Malik sekalipun ia tidak terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah Mursalah, sehingga beliau menyatakan bahwa istihsan telah merambah sampai ilmu fiqh. Adapun alasan-alasan yang dikemukannya antara lain:
1)   Firman Allah QS. Az Zumar : 18,
2)   Sabda Rasul SAW: “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka baik pula disisi Allah.”
3)   Ijma’ umat dalam kontek istihsan tentang boleh masuk kepemandian umum, tanpa pembatasan waktu dan penggunaan air serta ongkosnya.
b.   Menganggap bukan sebagai sumber hukum.
Diantara ulama yang menolaknya sebagai sumber hukum adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya  Ar Risalah  beliau menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk mengatakan sesutau atas dasar Istihsan. Beliau juga berkata ”Barang siapa yang beristihsan sungguh ia telah membuat syariat”. Menurut beliau tidak boleh seorang hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa kecuali dengan dalil yang kuat (khobar lazim) yang bersumber dari kitabullah, sunnah, ucapan ulama yang tidak diperdebatkan (ijma’) atau qiyas.
Tidak boleh menetapkan hukum/ fatwa dengan Istihsan. Bahkan ada dikalangan Asy Syafi’iyah secara ekstrim mengkafirkan dan membid’ahkan. Adapun alasan mereka yang menolak istihsan sebagai sumber hukum, antara lain:
1)   Karena kewajiban seorang muslim adalah mengikuti hukum Allah dan RasulNya atau qiyas yang berlandaskannya. Oleh karena itu hukum yang berasal dari Istihsan adalah produk manusia (wadh’i) yang hanya berdasarkan pertimbangan citra rasa dan kesenangan belaka (Tazawwuq dan Talazzuz)
2)   Allah swt memerintahkan kita untuk kembali kepada nash atau qiyasapabila kita berselisih paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti Firmannya dalam QS. An Nisa ; 59.
3)   Nabi Muhammad saw tidak pernah memberikan fatwa dengan menggunakan Istihsan. Misalnya ketika beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya ”Kamu bagiku mirip punggung ibuku”. Beliau tidak memberikan fatwa bersdasarkan Istihsan. Akan tetapi menunggu hingga turun ayat tentang Zihar beserta kafaratnya. Atas dasar inilah, kita wajib menghindar penggunaan Istihsan tanpa adanya topangan nash.
4)   Nabi saw juga tidak memperkanankan sahabat memeberi fatwa atau bersikap berdasarkan istihsan. Seperti pada kasus Usamah yang membunuh musuhnya yang telah mengucapkan kalimat Laa Ilaa ha Illa Allah, karena kalimat itu di ucapkan di saat terdesak dan ancaman pedang yang terhunus.
5)   Istihsan tidak memiliki batasan yang jelas dan kreteri-kreteian yang bias dijadikan standar untuk membedakan antara haq dan batil, seperti halnyaqiyas. Sehingga bisa menimbulkan bias.
4.   Macam-macam istihsan
a.   Istihsan dilihat dari aspek pengalihan
1)   Mengalihkan qiyas zhohir mengambil qiyas khofi.
Contohnya pada kasus tanah wakaf pertanian (sawah). Dilihat dari kacamata qiyas kewajiban mengairi tanah (sawah) tersebut tidak otomatis termasuk wakaf tanah pertanian tersebut, apalagi memang tidak disebutkan saat mewakafkannya. Alasannya karena qiyas zhohir, yaitu mengqiyaskan wakaf kepada jual beli dimanan apabila terjadi transaksi atas suatu barang maka terjadi pemindahan kepemilikan sesuai akad yang disepakatinya/ dikemukannya.Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan maka kewajiban mengairi tanah wakaf (sawah) masuk dalam akad wakaf. Alasannya mengalihkan/mengabaikan hasil qiyas zhohir mengambil hasil qiyas khofi. Karena tujuan dari wakaf tersebut adalah memanfaatkan hasil dari pertaniantersebut. Dan sawah itu tidak akan menghasilkan/mendatang-kan manfaatapabila tidak diairi.
2)   Mengalihkan nash yang bersifat umum, mengambil hukum khusus. Contohnya pada kasus Umar ra yang membatalkan hukum potong tangan seorang pencuri karena kejadiannya saat terjadi musim paceklik/kelaparan. Padahal ayat potong tangan itu cukup jelas (QS. Al Maidah: 38). Juga pada jual beli salam. Berdasarkan dalil umum tidak boleh. Karena Nabi saw bersabda: ”Janganlah kamu menjual yang tidak kamu miliki” (HR. Ahmad). Namun karena ada dalil khusu maka jual beli salam dibolehkan. Sabda Nabi SAW ”Siapa yang melakukan jual beli salam, maka harus jelas ukuran, timbangan dan watunya” (HR. Bukhori)
3)   Mengalihkan/mengabaikan hukum kulli mengambil hukum istitsna’ (pengkecualiaan).
Contohnya pada orang yang makan saat puasa karena lupa. Kaidah umum, puasanya batal karena salah satu rukunnya, yaitu alimsak telah rusak. Namun karena ada dalil khusus yang mengkecualikannya, maka puasanya tidak batal. Yaitu sabda Nabi saw: “Siapa yang lupa padahal ia tengah puasa lalu ia makan atau minum, hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya itu adalah makan dan minum yang diberikan Allah”.
b.   Istihsan dilihat dari sanad atau sandaran yang digunakan dalam pengalihan/ atau pengabaian.
1)   Istihsan yang sanad/sandarannya berupa quwwatul atsar/riwayat yang kuat.
Contohnya pada kasus sisa air minum unggas carnivora sepeti burung elang, rajawali atau burung pemakan bangkai. Dilihat dari kacamata qiyas maka air itu menjadi najis. Yaitu apabila diqiyaskan kepada hewan buas. Karena ada kesamaan illatnya yaitu sama-sama hewan yang dagingnya haram dimakan. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan, hukum air itu suci namun makruh. Karena hewan burung minum dengan paruhnya. Dan paruhnya adalah suci karena ia sejenis tulang yang kering. Ini berbeda dengan hewan buas yang minum dengan lidahnya yang mengandung air liur yang bersumber dari dagingnya yang najis/ haram.
2)   Istihsan yang sandarannya berupa maslahat
Contohnya pada kasus ‘al ajir al musytarok’ (pekerja yang terikat pada banyak orang) seperti tukang jahit, yang menghilangkan/ kehilangan bahan. Dilihat dari kacamata qiyas, ia tidak wajib mengganti apabila bukan karena kelalaiannya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan ia wajib menggantinya untuk menjaga agar hak milik orang tidak disia-siakan.
3)   Istihsan yang sandarannya berupa ijma
Contohnya pada kasusu akad Istishna’ (pesanan). Menurut qiyas semestinya akad itu batal. Sebab objek akad tidak ada ketika akad itu berlangsung. Akan tetapi transaksi model ini telah dikenal dan sah sepanjang zaman, maka ia dipandang sebagai ijma’ atau ’urf ’aam yang dapat mengalahkan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti merupakan perpindahan dari suatu dalil ke dalil yang lainyang lebih kuat.
4)   Istihsan yang sandarannya berupa qiyas
Contohnya pada kasus wanita yang perlu pengobatan khusus. Pada hakikatnya seluruh tubuh wanita adalah aurat. Akan tetapi dibolehkan untuk melihat sebagaian tubuhnya karena hajat. Seperti untuk kepentingan pengobatan oleh seorang dokter. Di sini terdapat semacam pertentangan kaidah, bahwa seorang wanita adalah aurat, memandangnya akan mendatangkan fitnah. Sementara disisi lain akan terjadi masyaqqoh apabila tidak diobati. Dalam hal ini dipakai illat, at taysir (memudahkan).
5)   Istihsan yang sandarannya darurat.
Contohnya pada sumur yang kejatuhan najis. Apabila sumur itu dikuras sangat tidak mungkin. Karena alat yang digunakan pasti terkontaminasi kembali dengan najis tersebut. Namun dengan pertimbangan darurat hal itu dapat dilakukan.
6)   Istihsan yang sandarannya berupa ’urf (budaya/ kebiasaan)
Contoh orang yang bersumpah tidak makan daging (lahman). Namun kemudian ia makan ikan. Berdasarkan qiyas ia telah melanggar sumpahnya karena Al Qur’an menyebut ikan dengan kata ”lahman toriyyan” . Namun berdasarkan ’urf, ikan itu berbeda dengan daging.
5.   Contoh
Hukum Syara' melarang menjual benda yang tidak ada, atau menjalin ikatan transaksi terhadap benda yang tidak ada, tetapi memberikan kekecualian berdasarkan istihsan dalam beberapa masalah, seperti salam, ijarah muzara'ah di mana semua akad ini objeknya belum ada. Dasarnya adalah kebutuhan masyarakat terhadap akad-akad tersebut, dan disitulah letak kebaikannya.

B.     Maslahah Mursalah
1.    Pengertian
Maslahah mursalah menurut bahasa terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Katamaslahah berasal dari kata bahasa arab   صَلَحَ – يَصْلُحُ  menjadi  صُلْحًا  atau مَصْلَحَةً yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal  dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu:  اَرْسَلَ – يُرْسِلُ – اِرْسَالاًمُرْسَلٌ menjadi مُرْسَل  yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).
Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah mursalah ialah menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya dan tidak ada ijma, berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan syariat dan dibatalkan syariat.
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan maslahah mursalah adalah jalan kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindarkan mudharat. Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa, maslahah mursalah adalah maslahah yang masuk dalam pengertian umum yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat). Alasannya adalah syariat Islam datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk umum. Nash-nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek kehidupan.
Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman, bahwasanya maslahah mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu masalah atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash, yang apabila dikerjakan jelas membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan kemaslahatan yang bersifat umum pula.
2.   Macam-macam Maslahah Mursalah
Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah, para ahli Ushul Fiqih mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi diantaranya:
a.    Dari segi keberadaan Maslahah menurut Syara’
1)   Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh suyara’ meksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
2)   Maslahah Al-Mughah; kemaslahatan yang ditolak syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’,
3)   Maslahah Mursalah; kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’melalui dalil-dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi atas dua yaitu:
a)   Maslahah al-ghariban, yaitu kemaslahatan yang asing atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’.
b)   Maslahah al-mursalah, kemaslahatan yang tidak didukung oleh serkumpulan makna nash (ayat atau hadist)
b.   Dari segi Kandungan Maslahah
1)      Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti  untuk semua kepentingan orang , tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas ummat/kelompok.
2)      Maslahah al-khasha, yakni kemaslahatan pribadi seperti kermaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (magfud)
Pentingnya pembagian kedua  kemaslahatan ini berkaitan dengan mana yang harus didahulukan apabila kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan ke dua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.
c.    Dari segi berubah atau tidaknya Maslahah
1)   Maslahah al Tsabitah, yakni kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji.
2)   Maslahah al Mutagayyirah, yakni kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum.
Pentingnya pembagian ini menurut Mustafa Al Syalabi, dimaksudkan untuk memberi batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan tidak.
3.   Tingkatan Maslahah Mursalah
a.    Tingkatan pertama; maslahah dharuriyah
Maslahah dharuriyah ialah segala apek yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia, dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan dan kemaslahatan manusia, baik ukhrawi maupun  duniawi.
b.   Tingkatan kedua; maslahah hajiyyah
Maslahah hajiyyah ialah segala yang menjadi kebutuhan primer (pokok) manusia dalam hidupnya, agar hidupnya bahagia dan sejahtera dunia akhirat serta terhindar dari kemelaratan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh maka kehidupan manusia mengalami kesulitan meskipun kehidupan mereka tidak sampai punah.
c.    Tingkatan ketiga ; Maslahah Tasniyah
Yakni, suatu kebutuhan hidup yang sifatnya komplementer (sebagai pelengkap) dan lebih menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia. Jika kemaslahatan ini tidak terpenuhi maka hidup manusia kurang indah dan kurang nikmat, kendatipun tidak sampai menimbulkan kemudharatan dan kebinasaan hidup.
Mengenal tingkatan-tingkatan kemaslahatan dan karakteristiknya yang bersifat kully atau mutlak dan juz’iy atau nisbi (relatif) adalah sangat penting terutama dalam menetapkan hukum pada tiap-tiap perbuatan dan persoalan yang dihadapi manusia. Misalkan saja, memelihara jiwa itu bersifat dharuriyyang hukumnya mencapai derajat wajib lidzhati, karenanya hukum tersebut tidak  berubah kecuali jika diperhadapkan pada soal lain yang  sifat dharuriy-nya lebih tinggi, misalnya demi memelihara aqidah maka jiwa dapat saja dikorbankan. Sementara itu,  memelihara bersifat hajiyah, sehingga hukumnya hanya sampai pada derajat wajib lighayrih, dalam arti wajib karena terkait dengan persoalan lain, yakni ia terkait dengan persoalan hidup yang sifatnyadharuriyah.
Selain itu menempatkan kehidupan bernegara sebagai cara hidup berjamaah adalah wajib secara dharuriyah, karena  hal ini pada posisi terpenting kedua sesudah pemeliharaan aqidah, maka syariat mengharuskan seseorang mengorbankan jiwanya demi membela bangsa dan negaranya. Dalam kaitannya dengan perlunya negara itu, haruslah ada seorang pemimpin dan lembaga-lembaga negara lainnya. Tetapi kedudukan lembaga-lembaga negara yang  mencakup pemimipin dan waliyul amri, tidak bersifat dharuriyah, tetapi hanya bersifat hajiyah, yang diperlukan guna memudahkan  terselenggaranya suatu jamaah (negara) dengan baik. Tanpa institusi-institusi itu, negara tidak dapat terselenggara dengan baik. Akan tetapi, karena sifatnya hanyalahhajiyyah, maka syariat tidak membenarkan adanya korban jiwa demi mempertahankan kedudukan seorang pemimpin.
Dari uraian-uraian di atas dapat difahami bahwa ketiga kemaslahatan di atas adalah dasar-dasar yang diperhatikan oleh syara’ dalam mengukur teori maslahah mursalah, baik macam maupun tingkatannnya. Ketiganya perlu dibedakan sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan. Dimana kemaslahatan dharuriyah harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan hajiyyah dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyah
4.   Kedudukan
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan mashalihul mursalah sebagai sumber hukum.
a.    Jumlah ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan :
1)   Bahwa dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan   kemaslahatan   umat   manusia.   Tak   ada   satupun kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syariat melalui petunjuknya.
2)   Pembinaan   hukum   Islam   yang   semata-mata   didasarkan   kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
b.   Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafi'i boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila sesuai dengan dalil dengan dalil kully atau dalil juz'iy dari syara. Pendapat kedua ini berdasarkan:
1)   Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya.   Jika  pembinaan   hukum  dibatasi  hanya  pada  maslahat-maslahat    yang  ada  petunjuknya dari  syari'  (Allah), tentu  banyak kemaslahatan    yang tidak ada status hukumnya  pada  masa dan tempat yang berbeda-beda.
2)   Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syari'. Misalnya membuat penjara,  mencetak uang,  mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al Qur'an dan sebagainya.
5.   Contoh
Para sahabat Nabi Muhammad saw. telah menggunakan maslahah mursalahdalam menentukan suatu hukum, meskipun syara' tidak menetapkan dasar hukumnya, Misalnya langkah sahabat Abu Bakar Shidiq mengumpulkan mushaf Al Qur'an atas saran Umar bin Khatab. Begitu pula penyeragaman tulisan Al Qur'an oleh Utsman bin Affan. Dalam pernikahan juga disyaratkan adanya Surat atau Akta Nikah untuk keperluan gugatan cerai, pembagian harta pusaka dan sebagainya. Meskipun semua itu tidak ada dasar hukum Syara'nya, namun sangat bermanfaat dan memberikan kebaikan bagi umat.

C.     Istishâb
1.    Pengertian
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatuIstishab adalah menetapkan hukum yang ada pada waktu yang lalu dan menetapkan pula berlakunya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dengan kata lain, istishab adalah menjadikan hukum satu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada sumber hukum yang mengubah ketentuan hukum itu.
Menurut Al Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut)”.
Menurut Al Qarafy (w. 486H) mendefinisikan istishhab sebagai “keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”
Menurut istilah ahli usul fikih, istishab adalah membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai sekarang, kecuali jika ada dalil lain yang mengubahnya.
Dari definisi diatas menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa hukum ataupun benda di masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau mobil ini, entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama kita tidak  menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.
2.   Macam-macam Istishab
a.    Istishab Aql
Istishab aql adalah suatu keyakinan umum dalam rangka mendalami agama sehingga ulama membedakan ajaran agama menjadi dua bagian, yaitu ibadah (tidak sepenuhnya sama dengan fiqih ibadah) dan muamalah (tidak sepenuhnya sama dengan fiqih muamalah).
b.   Istishab Syara
Istishab Syara adalah suatu perbuatan yang tegak karena perintah Allah dan Rasulullah serta tidak ada dalil yang mengubah perintah tersebut. Contohnya adalah wudu dan jumlah rakaat salat.
3.   Kedudukan Istishab sebagai Sumber Hukum
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari Al Qur’an, Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku…”
Dalam menyikapi apakah istishhab dapat dijadikan sebagai dalil dalam proses penetapan hukum, para ulama Ushul Fiqih terbagi dalam 3 pendapat:
a.   Istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum.
Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.
1)      Firman Allah:
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi…” (QS. Al An’am:145)
Ayat ini menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan…” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.
2)      Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya) lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!’ Maka (jika demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.”(HR. Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yaitu mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.
3)      Ijma’.
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal
4)   Dalil ‘aqli.
Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini adalah:
a)   Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam, sebuah dugaan kuat (al-zhann al-rajih)adalah hujjah, maka dengan demikian istishhab adalah hujjah pula.
b)   Disamping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan, berdasarkan kaidahal-yaqin la yazulu/yuzalu bi al-syakk.
b.   Istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak.
Tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak.baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.
Di antara dalil dan pegangan mereka adalah
1)   Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti bahwa istishhab adalah sesuatu yang batil.
2)   Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhab, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhab pula.
c.   Istishhab adalah hujjah pada saat membantah.
 Hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan hukum yang lalu (bara’ah al dzimmah) dan tidak dapat sebagai hujjah untuk menetapkan suatu hukum baru. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama Hanafiyah belakangan dan sebagian Malikiyah.
Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka membedakan kedua hal ini adalah karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu di masa sebelumnya, dan itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan hukum baru di masa selanjutnya.


4.   Contoh
Seseorang yang ragu-ragu apakah dirinya sudah mengambil air wudlu atau belum. Dalam hal ini, ia harus berpegang pada keyakinan dirinya belum mengambil air wudu, sebab itu yang asal (tidak berwudlu), dan orang yang salat tanpa wudlu tidak sah. Akan tetapi, jika ia yakin bahwa dirinya telah berwudlu dan tidak batal, maka ia harus berpegang kepada keyakinannya, yaitu belum batal dari wudlu. Keraguan harus dihilangkan oleh keyakinan, bila yakin sudah berwudu dan belum batal, maka tidak perlu mengambil air wudu kembali. Akan tetapi, jika yakin wudunya telah batal atau belum berwudlu, maka segeralah berwudlu.

D.    Uruf
1.    Pengertian
Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
‘Uruf adalah apa-apa yang saling diketahui oleh manusia dan mereka mempraktekannya, baik perkataan atau perbuatan atau meninggalkan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi
2.   Macam-macam Uruf
Pembagian ‘uruf ada dua diantaranya:
a.    Uruf shahihah yaitu suatu kebiasan yang bisa dijadikan landasan hukum.
1)   Uruf shohih ‘am
Adalah suatu kebiasaan yang telah disepakati oleh setiap manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Dan ‘urf ‘am ini termasuk kategori ijma’ bahkan mempunyai status yang lebih universal dari pada ijma’. Seperti sesuatu yang diberikan oleh laki-laki kepada wanita pinangannya berupa perhiasan dan pakain adalah hadiah yanh tidak termasuk sebagian dari maskawinnya.
2)   Uruf shohih khos
Adalah suatu kebiasaan yang hanya diakui oleh satu negara, satu propensi ataupun sekelompok masyarakat, seperti halnya dalam masalah perniagaan atau bercocok taman dan lain sebagainya. Dan ‘uruf yang seperti ini ketika dijadikan landasan dari sebuah hukum, maka status keputusnya tidaklah valid.dan hanya berlaku di tempat dan pada masa keputusan hukum tersebut di tetapkan. Karena ‘uruf khos ini bersifat dinamis yang selalu berubah seiring perubahan zaman .
b.   Uruf fasidah yaitu suatu kebiasan yang tidak bisa dijadikan landasan hukum, karena bertentangan dengan nash-nash qot’i
3.   Kedudukan sebagai sumber hukum
‘Uruf juga bisa dijadikan landasan hukum dalam masalah fiqhiyyah apabila sudah tidak memenukan hukum dalam Al Qur’an. Dengan berlandaskan sebuah hadist yang artinya : Suatu kebiasaan yang dinilai baik oleh orang-orang islam, juga dinilai baik disisi Allah.
Bahkan imam jalaluddin As-Sayuti dalam kitab asybah wa an nadloir mengatakan bahwa ketetapan berdasarkan ‘uruf termasuk dalam kategori ketetapan berdasaekan dalil syar’i. dan juga dalam masalah ini, ada satu kaidah yang masyhur dikalangan ulama’ yang artinya : Apa yang terkenal sebagai ‘uruf sama dengan yang ditetapkan sebagai syarat, dan sesuatu yang tetap karena ‘uruf sama dengan yang tetap karena nash.
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal dengan
 Qoul Qadim dan Qoul Jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan Mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima, hal itu jelas karean bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umam nas
4.   Syarat-syarat Uruf
a.    Urf ini berlaku umum artinya dapat diberlakukan untuk mayoritas persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat.
b.   Urf telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya ‘urf itu lebih dulu ara sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
c.    Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi
Jika terjadi pertentangan ‘urf dengan dalil syara’ di tengah-tengah masyarakat, maka pertentangan tersebut adalah:
a.    Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus atau rinci, maka ‘urf tidak dapat diterima, seperti kebiasaan orang jahiliyah menyamakan kedudukan anak yang diadopsi dengan anak kandung dalam masalah warisan harus ditinggalkan.
b.   Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus, maka ‘urf harus dibedakan antara ‘urf al-lafzidengan ‘urf al-amali, jika ‘urf itu ‘urf al-lafzi, maka dapat diterima, dengan alasan tidak ada indikator bahwa nash umum tidak dapat dikhususkan oleh ‘urf. Seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Untuk ‘urf al-amali terjadi perbedaan pendapat ulama hanafiyyah jika ‘urf al-amali bersifat umum, maka ‘urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash yang umum.
c.    Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘urf tersebut, maka ulama sepakat mengatakan bahwa ‘urf seperti ini, baik lafzi maupun amali tidak dapat dijadikan hujjah dalam menerapkan hukum syara’. Seperti kerelaan anak perawan ketika dinikahkan dengan diamnya, maka sesuai dengan perkembangan zaman tidak dapat diterima lagi, karena pada saat sekarang anak perawan sudah berani mengatakan iya atau tidak terhadap setiap perkataan orang tuanya.
5.   Contoh Uruf
'Urf perbuatan, misalnya dalam melakukan transaksi jual beli, jarang ada orang yang melakukan ijab kabul ketika mereka saling menyerahkan barang (bagi pedagang) dan uang (bagi pembeli), dengan mengucapkan “Saya terima barangnya dan ini uangnya.“ Hal itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada umumnya, sehingga jual beli dianggap sah meskipun tidak melalui ijab kabul. Sedangkan ‘Urf ucapan, misalnya kebiasaan orang Arab mengucapkan kata walad, bisa berarti anak laki-laki bisa juga anak perempuan. Contoh 'Urfyang ditinggalkan ialah kebiasaan bangsa Arab mengartikan kata Samak dengan daging ikan, padahal ada kata "Lahmun" yang mempunyai arti daging, tanpa membedakan daging ikan atau daging binatang sembelihan.

E.     Saddudz Dzarî’ah
1.    Pengertian
Saddudz dzarî’ah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzarî’ah. Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzarî’ah berarti jalan. Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî’ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syari’at menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya.
Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.
2.   Dasar Hukum
a.   Al Qur’an
Ÿ   
“ dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al An’am ; 108)
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas
“…dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…” (QS. An Nur ; 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.
b.   Hadis
“Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
3.   Kedudukan Saddudz Dzarî’ah
a.    Menurut Imam Malik bahwa saddudz dzari'ah dapat dijadikan sumber hukum, sebab sekalipun mubah akan tetapi dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama.
Al-Qurtubi, seorang ulama Madzhab Maliki menyatakan : "Sesunggunya apa-apa yang dapat mendorong terjerumus kepada perkara yang dilarang (maksiat) adakalanya secara pasti menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan”.
Yang pasti menjerumuskan kepada maksiat bukanlah termasuk suddudz dzari'ah tetapi harus dijauhi, sebab perbuatan maksiat wajib ditinggalkan. Yang tidak pasti menjerumuskan kepada maksiat, itulah yang termasuk suddudz dzari'ah.
Guna menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama, maka kita wajib menjauhkan diri dari perkara-perkara yang lahirnya mubah, tetapi lambat laun dapat membawa dan mendorong kita kepada perbuatan maksiat.
b.   Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa Saddudz Dzari'ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadits Nabi saw. dikatakan :
"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan".
"Bagi siapa yang berputar-putar di sekitar larangan (Allah) lama kelamaan dia akan melanggar larangan tersebut".
4.   Contoh
Sudah merupakan adat dan kebiasaan bagi sebagian masyarakat kita, jika mereka mengadakan walimah anaknya, atau walimah khitan putranya selalu mengadakan pertunjukan, seperti pertunjukan wayang golek, layar tancap, orkes dangdut, dan sebagainya.
Sebenarnya, mengadakan pertunjukan hiburan tidak apa-apa (boleh), hanya saja peristiwa tersebut sering dijadikan ajang keributan antarpemuda, mabuk-mabukan, tawuran antarkampung, porno aksi dengan busana artis yang seronok dandanannya, dan hal-hal lainnya. Oleh sebab itu, agar hal-hal negatif tersebut tidak terjadi, maka hendaknya jalan yang menuju ke arah itu, yakni pertunjukan hiburan hendaknya ditiadakan, dan menggantinya dengan kegiatan yang positif, seperti pengajian atau siraman rohani lainnya. Tindakan yang demikian itu, disebut Syaduz zarai'.

F.     Syar’u Man Qablana.
1.    Pengertian
Definisi syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang telah disyari’atkan Tuhan kepada umat-umat sebelum kita yang diturunkan melalui para Nabi dan para Rasul untuk disampaikan kepada seluruh masyarakat pada waktu itu.
Syar’u man Qablana merupakan syari’at para nabi terdahulu sebelum adanya syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Telah diketahui bahwasyar’u man qablana adalah salah satu dari sekian banyak metode istinbat(penggalian) hukum Islam, walaupun tampak adanya warna-warna yang mengindikasikan syar’u man qablana hanya sebagai penguat teks-teks keagamaan dan bukan dijadikan sebagai petunjuk untuk menggali hukum, namun seringkali ia tetap dijadikan sebagai metode. Berkaitan dengan hal tersebut, para ahli usul al-fiqh menggunakan syar’u man qablana untuk membedakan antara syari’at atau hukum sebelum Nabi Muhammad menjadi seorang rasul dan hukum di saat ia diutus sebagai rasul. Namun demikian, tampaknya para ahli usul al-fiqh memiliki perspektif yang berbeda dalam memandang syar’u man qablana. Perbedaan tersebut tampak ketika mereka membahas keterikatan Nabi Muhammad setelah menjadi Nabi dan pengikutnya terhadap syari’at-syari’at sebelumnya.
Terlepas dari perbedaan ini, yang jelas ada suatu kesepakatan para ahli usul al-fiqh bahwa tidak semua syari’at sebelum Islam di-naskh (diganti) oleh Islam, bahkan di antara syari’at-syari’at tersebut ada yang masih diakui dan mengikat umat Islam secara keseluruhan. Sejak adanya kesepakatan tersebut, maka syar’u man qablana dapat dianggap sebagai sebuah solusi terhadap kebimbangan dan kemelut syari’at yang dihadapi dan selanjutnya bernaung dalam sebuah metodologi yang disebut usul al-fiqh (metodologi hukum Islam). Namun demikian, posisi syar’u man qablana tampaknya tidak sejelas ketika ia diperkenalkan untuk pertama kalinya, dan bahkan apabila dibandingkan dengan metodologi usul al-fiqh lainnya (seperti qiyas, istihsan, istislah,istishab), ia sudah tidak lagi populer bahkan cenderung ditinggalkan, posisinya kini hanyalah sebagai sebuah pajangan atau simbol yang merupakan warisan dari perjalanan intelektual para ahli usul al-fiqh.
2.   Kedudukan syar’u man qablana sebagai Sumber Hukum
Sejak syar’u man qablana diangkat ke permukaan untuk selanjutnya dijadikan sebagai metode, maka sebagai sebuah pembatas (takhsis) sekaligus nasikh terhadap syari’at-syari’at terdahulu kontribusi syar’u man qablana bukan merupakan sebuah kontribusi yang dapat dipandang sebelah mata. Justru dengan adanya metode istinbat seperti ini, umat Islam memperoleh kepastian hukum dengan cara mengindentifikasi syari’at-syari’at yang dibatalkan dan syari’at-syari’at yang masih berlaku.
Identifikasi hukum tersebut bisa dibaca dalam ayat-ayat Al Qur’an yang secara tekstual menyebut syari’at umat terdahulu, kemudian hal ini dipahami kembali oleh para ahli usul al-fiqh sebagai bukti peran dan kiprah syar’u man qablana dalam percaturan hukum Islam kala itu. Misalnya Q.S. al-An’am ayat 146 yang artinya sebagai berikut :
“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku. Sedangkan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar”.
Pesan normatif di atas menceritakan apa yang diharamkan kepada umat Yahudi, namun hal tersebut tidak berlaku bagi umat Islam karena ada ayat lain dalam Alqur’an yang membatalkan ketentuan tersebut. Ayat yang dimaksud adalah Q.S. Al An’am ayat 145 yang terjemahnya sebagai berikut :
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi (karena sesungguhnya semua itu kotor) atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Contoh lain bahwa pada zaman Nabi Musa cara menebus dosa (bertobat) atas kesalahan yang telah dilakukan adalah dengan bunuh diri. Setelah Islam datang, syari’at tersebut kemudian tidak berlaku lagi (mansukh) dengan turunnya Q.S. Huud : 3,
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya”.
Berdasarkan pesan dalam ayat di atas, umat Muhammad yang ingin menebus dosa cukup berhenti melakukan perbuatan yang dipandang memiliki konsekuensi dosa dan menyesali perbuatan yang telah dilakukan dengan dibuktikan secara nyata adanya tekad yang terealisasi secara empiris bahwa perbuatan dosa tersebut tidak diulangi lagi. Begitu juga dengan kotoran yang dipandang najis apabila mengenai salah satu pakaian. Dalam syari’at terdahulu pakaian tersebut harus dipotong sesuai dengan bagian pakaian yang kena najis. Namun setelah Islam lahir, kewajiban seperti ini tidak ditetapkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya. Kenyataan ini dapat dilihat pada Q.S. Al Mudatsir: 4 “ Dan pakaianmu bersihkanlah”.
Berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an di atas, para ahli usul al-fiqh dapat menentukan dengan mudah bahwa syar’u man qablana semacam itu sudah tidak berlaku lagi karena telah dibatalkan atau diganti (mansukh) oleh ayat Alqur’an sendiri yang nota bene merupakan syari’at Nabi Muhammad.
Selain itu, terdapat pula kontribusi Syar’u man Qablana dalam bentuk lain yang tampak berlawanan dengan bentuk di atas. Pada bentuk itu, syari’at Islam membatalkan syari’at terdahulu, namun pada bentuk kedua ini justru Nabi Muhammad dan umatnya mewarisi dan melanjutkan apa yang telah ditetapkan oleh umat terdahulu. Di antara warisan hukum itu dapat dilihat pada Q.S. Al Baqarah : 183 , “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Warisan lain yang ditetapkan untuk umat Nabi Muhammad adalah perintah berkurban yang sebelumnya pernah diwajibkan kepada Nabi Ibrahim. Ketentuan itu tetap diberlakukan untuk Muhammad dan umatnya berdasarkan pernyataan Nabi Muhammad sendiri melalui sabdanya:“Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu, yaitu Ibrahim”.
Kedua persoalan hukum di atas tampak mudah diselesaikan dengan metode syar’u man qablana, bahkan tampaknya tanpa adanya metode tersebut dimungkinkan hukum-hukum di atas dapat diidentifikasi karena adanya penjelasan kongkrit yang secara eksplisit sudah dijelaskankan Tuhan melalui ayat-ayat Al Qur’an. Kendati demikian, pernyataan ini bukan berarti bahwa syar’u man qablana telah kehilangan peran dalam metodologi usul al-fiqh, tetapi justru pentingnya syar’u man qablana adalah untuk menentukan dan menyelesaikan kemulut persolan yang dihadapi oleh para ahli usul al-fiqh, terutama yang berkaitan dengan adanya dalil normatif yang diterima Nabi Muhammad seraya menceritakan sebuah peraturan tentang kewajiban umat terdahulu, namun tidak ditemukan ketentuan yang menghendaki peraturan tersebut tetap diberlakukan atau dibatalkan, baik dari dalil itu sendiri atau pada dalil lain. Misalnya Q.S. Al maidah :32, “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.”
Begitu juga pada Q.S. Al Maidah : 45 “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas)-nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
Pada kedua ayat di atas terlihat dengan jelas bahwa Tuhan menceritakan adanya kewajiban kepada Bani Israil hukum yang tercatat dalam Taurat. Namun tidak menjelaskan apakah ketentuan itu berlaku juga terhadap umat Islam atau tidak. Tidak adanya kejelasan pada ayat itu menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul al-fiqh, apakah hal tersebut diberlakukan juga untuk umat Islam atau tidak mengingat ketentuan itu terdapat di dalam Alqur’an yang nota benemerupakan kitab suci umat Islam.
Berkaitan dengan masalah tersebut, Bazdawi mengatakan bahwa syari’at terdahulu yang tidak ditemukan ketegasan pengamalannya bagi umat Islam adalah tidak berlaku bagi umat Islam sampai ditemukannya dalil yang mewajibkannya. Namun yang populer dari pendapat Bazdawi adalah tentang anggapannya yang menyatakan bahwa ketentuan itu merupakan syari’at karena ia dituliskan kembali dalam Al Qur’an, sehingga ia telah menjadi syari’at Muhammad. Hal ini ditanggapi berbeda oleh Hazm yang mengatakan bahwa bentuk syari’at seperti itu hanya merupakan nass atau teks semata yang tidak perlu diamalkan.
Sedangkan Syairazi mengatakan bahwa perbedaan tersebut tampak semakin berkembang dengan adanya 3 kelompok yang berkiprah memberikan pendapat yakni: 1) bukan sebagai syari’at umat Islam, 2) sebagai syari’at Islam, kecuali adanya dalil yang membatalkannya, 3) semua syari’at terdahulu, baik syari’at Ibrahim, syari’at Musa (kecuali yang telah di-naskh oleh syari’at Isa), dan syari’at Isa sendiri adalah syari’at Islam.
Terhadap perbedaan pendapat ini, Asnawi, menjelaskan bahwa dalam persoalan tersebut telah ada kesepakatan mayoritas ahli usul al-fiqh, termasuk di dalam dalamnya Fakhruddin ar-Razi, Saifuddin al-Amidi, Baidawi, dan sebagian ulama Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa syari’at umat terdahulu yang tidak ada kepastian untuk umat Muhammad, tidak dipandang sebagai syari’at Islam. Hal yang senada juga terdapat dalam Khallaf, yang mengatakan bahwa syari’at Islam me-naskh syari’at terdahulu, kecuali adanya penegasan bahwa syari’at tersebut berlaku juga bagi umat Islam. Pendapat yang serupa juga dapat ditemukan dalam Zuhaili, dengan menambahkan bahwa sebagian ahli usul al-fiqh mazhab Maliki dan mayoritas ulama ilmu kalam menyatakan penolakannya terhadap syari’at tersebut.
Selain itu, Abdul Wahab Khallaf, juga menceritakan bahwa mayoritas ahli usul al-fiqh mazhab Hanafi, sebagian ahli usul al-fiqh mazhab Maliki dan Syafi’i, berpendapat bahwa syari’at yang demikian itu diakui dan termasuk dalam syari’at Islam serta kewajiban umat Islam untuk mengikuti dan mengimplementasikan syari’at tersebut selama tidak adanya dalil normatif yang secara jelas me-nasakh-nya. Karena, demikian diceritakan Khallaf, syari’at yang diperdebatkan tersebut adalah hukum-hukum Tuhan yang telah disyari’atkan melalui para rasul-Nya dan Muhammad juga termasuk dalam perintah tersebut. Selain itu, salah satu alasan Alqur’an itu diwahyukan adalah untuk membenarkan adanya kitab-kitab yang diturunkan pada umat sebelumnya, seperti Taurat dan Injil. Oleh karena itu apabila tidak ada ketentuan Alqur’an yang me-nasakh syari’at terdahulu, berarti ia diakui di dalam syari’at Islam.
Apabila mengkaji kembali pemikiran para ahli usul al-fiqh di atas, maka sebagai pemeluk Islam yang hidup di zaman sekarang, tentunya memiliki pilihan di antara dua pilihan sebagai salah satu langkah ittiba’ atau memiliki pemikiran lain yang juga tidak terlepas dari dua macam pemikiran di atas. Namun apabila dihadapkan pada pilihan sebagaimana yang disebutkan di atas dan diharuskan untuk memilih, penulis lebih cenderung mengikuti pemikiran para ahli usul al-fiqh yang pertama, yakni tidak menerima syari’at-syari’at terdahulu, khususnya yang berkaitan dengan tidak adanya penegasan untuk diikuti. Bahkan di sini penulis juga lebih cenderung melihat syari’at Islam terdahulu yang disebutkan dalam Alqur’an (sebagaimana yang dicontohkan pada Q.S. Al Maidah : 32 dan 45 di atas) hanyalah sekedar menceritakan kondisi hukum pada zaman itu. Hal ini juga sekaligus menjelaskan bahwa hokum itu diberlakukan sesuai dengan karakteristik, adat, sosial dan budaya masyarakat yang hidup pada waktu itu. Oleh karena itulah, penulis lebih cenderung penggunaan metode syar’u man qablana hanya dimaksudkan untuk dapat mengidentifikasi hukum-hukum yang sesuai dengan karakteristik masyarakat yang berkembang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai individu yang memiliki hak hidup.
Dengan demikian ada dua bagian penting dalam masalah syar’u man qablana, yakni :
a.    Apa yang disyari'atkan kepada mereka juga ditetapkan kepada kita umat Nabi Muhammad, baik penetapannya itu melalui perintah melaksanakan, seperti puasa, maupun melalui kisah, seperti qishash.
b.   Apa yang disyari'atkan kepada mereka tidak disyari'atkan kepada kita. Misalnya yang disyari'atkan kepada Nabi Musa, seperti "Dosa orang jahat itu tidak akan terhapus selain membunuh dirinya sendiri" dan "pakaian yang terkena najis itu tidak suci kecuali harus dipotdng bagian yang terkena najis tersebut". Terhadap syari'at jenis kedua ini pada ulama sepakat untuk ditinggalkan, karena syari'at islam telah menghapusnya.

G.    Mazdhab Shahaby
1.    Pengertian Mazdhab Shahaby
Mazhab Sahabi ialah suatu pendapat yang dikemukakan oleh seseorang sahabat tentang sesuatu hukum Syara', sesudah wafatnya Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah saw. masih hidup, semua masalah atau peristiwa yang pemecahan hukumnya tidak terdapat dalam nas Al Qur'an, selalu diserahkan secara langsung kepada beliau. Namun, sesudah beliau wafat, tugas tersebut dilakukan oleh sejumlah sahabat yang mempunyai keahlian di bidang hukum Islam, lama menyertai Rasulullah saw. dan memahami isi kandungan Al Qur'an dengan baik. Artinya, tugas tersebut dilaksanakan oleh para sahabat yang mempunyai keahlian berijtihad.
2.   Kedudukan Hukum Mazdhab Shahaby
a.    Mazhab sahabat yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan serta ketetapan Rasul wajib ditaati, sebab hakekatnya ia merupakan sunnah Rasul.
b.   Mazhab   sahabat  yang   berdasarkan   hasil   ijtihad   tetapi  telah   mereka sepakati (Ijma Sahaby) dapat dijadikan hujah dan wajib ditaati, sebab mereka di samping  dekat dengan  rasul,  mereka  mengetahui  rahasia-rahasia tasyri' dan mengetahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa yang sring terjadi. Contoh mazhab sahabat yang telah mereka sepakati, antara lain ialah mengenai bagian harta waris bagi nenek, yaitu seperenam.
c.    Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujah dan tidak wajib diikuti. Abu Hanifah dan Imam Syafi'i menyatakan : "Tidak melihat seorang pun ada yang menjadikan perkataan sahabat untuk dijadikan hujjah", sebab perkataan sahabat tersebut didasarkan kepadara'yu dan di antara sahabat sendiri juga berbeda pendapat, dan mereka tidak luput dari kesalahan.
3.   Contoh Madzhab Sahaby
Pendapat Aisyah yang mengatakan bahwa usia janin dalam kandungan itu tidak akan lebih dari dua tahun. Beliau mengatakan sebagai berikut:
"Di dalam perut ibu, kandungan itu tidak berdiam melebihi dua tahun, berdasarkan ukuran yang biasa mengubah bayang-bayang alat tahun".