Sumber
hukum islam yang masih diperselisihkan (mukhtalaf) di kalangan
para ulama selain adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘uruf,
madzhab As Shahâbi, Saduz Dzariah, syar’u man qablana.
A. Istihsân
1. Pengertian
Secara bahasa Ihtisan berasal dari
kata “hasan” yang berarti adalah baik dan lawan dari “qobaha”
yang berarti buruk. Kemudian di tambah tiga huruf yaitualif- sin dan ta’,
bewazan istif’al ,sehingga menjadi istahsana-
yastahsinu- istihsaanan. Kata benda (mashdar) yang berarti menganggap
dan meyakini sesuatu itu baik (baik secara fisik atau nilai) lawan
dari Istiqbah, yaknimenganggap sesuatu itu buruk. Jadi,
dari segi bahasa istihsân bermaknamemandang baik sesuatu atau mencari
yang lebih baik untuk diikuti.
a. Menurut Abu Zahroh
Ungkapan tentang dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri (karena)
ketidaksanggupannya untuk memunculkannya disebabkan tidak adanya kata/ ibarah
yang dapat membantu mengungkapankannya.
b. Menurut Al
Fairuz Abadi
Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang
bersifat umum/ menyeluruh.
c. Menurut Al
Jayzani
Beralihnya seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan yang serupa
karen adanya kesamaan-kesamaan kepada hal yang berbeda karena pertimbangan yang
lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang pertama.
d. Menurut Al Hilwani dan Al Hanafi
Istihsan
ialah menukar perkara yang berasal dari Qias kepada Qias yang lebih kuat. Hal
ini disebut Qias khafi yang tersembunyi illat nya.
e. Menurut Imam Abu Hasan Al Karkhi
Merupakan
penetapan hukum oleh mujtahid terhadap sesuatu masalah yang menyimpang daripada
ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yng sama disebabkan alasan
yang lebih kukuh.
f. Menurut Jumhur ulama' Usul
Istihsan
adalah menukarkan sesuatu hukum kulli kepada huklum juziyy (pengecualian)
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu
hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara” yang
mengharuskan untuk meninggalkannya.
Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum
potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal
seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun
kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong
tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang
menguatkann
2. Dasar
Hukum
a. Al Qur’an
“ yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az
Zumar; 18)
“ dan berjihadlah kamu
pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS.
Al Hajj :78)
b. Hadis
Hadits Nabi SAW,
Anas r.a berkata “Rosullah SAW bersabda, sebaik-baik
agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya;dan sebaik-baik ibadah adalah yang
dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya”. (HR Ibnu Bar)
3. Kedudukan
istihsan sebagai sumber hukum
Ada tiga sikap dan pandangan ulama dalam menggunakan istihsan
sebagai sumber hukum Islam. Ada yang menolak istihsan sebagai sumber hukum
Islam sama sekali. Mereka adalah kelompok ulama yang menafikan qiyas seperti
Daud Azh Zhohiry, Mu’tazilah dan sebagian Syi’ah. Ada yang menjadikan istihsan
sebagai sumber hukum Islam. Mereka adalah kelompok ulama Hanafiah, khususnya
tokoh sentralnya Abu Hanifah. Dan yang lain adalah kelompok yang kadang
menggunakan istihsan dan kadang menolaknya seperti Imam Syafi’i.
Secara umum ada dua pendapat ulama dalam hal ini:
a. Ada yang
menganggapnya sebagai sumber hukum.
Diantara ulama yang beranggapan sebagai sumber hukum
adalah Imam Hanafi dan Imam Malik sekalipun ia tidak terlalu membedakan antara
istihsan dengan Maslahah Mursalah, sehingga beliau menyatakan bahwa istihsan
telah merambah sampai ilmu fiqh. Adapun alasan-alasan yang dikemukannya antara
lain:
1) Firman
Allah QS. Az Zumar : 18,
2) Sabda
Rasul SAW: “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka baik pula disisi
Allah.”
3) Ijma’ umat
dalam kontek istihsan tentang boleh masuk kepemandian umum,
tanpa pembatasan waktu dan penggunaan air serta ongkosnya.
b. Menganggap
bukan sebagai sumber hukum.
Diantara ulama yang menolaknya sebagai sumber hukum
adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya Ar Risalah beliau
menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk mengatakan sesutau atas dasar Istihsan.
Beliau juga berkata ”Barang siapa yang beristihsan sungguh ia telah
membuat syariat”. Menurut beliau tidak boleh seorang hakim atau mufti
menghukumi atau berfatwa kecuali dengan dalil yang kuat (khobar lazim) yang
bersumber dari kitabullah, sunnah, ucapan ulama yang tidak diperdebatkan
(ijma’) atau qiyas.
Tidak boleh menetapkan hukum/ fatwa dengan Istihsan.
Bahkan ada dikalangan Asy Syafi’iyah secara ekstrim mengkafirkan dan
membid’ahkan. Adapun alasan mereka yang menolak istihsan sebagai
sumber hukum, antara lain:
1) Karena
kewajiban seorang muslim adalah mengikuti hukum Allah dan RasulNya atau qiyas yang
berlandaskannya. Oleh karena itu hukum yang berasal dari Istihsan adalah
produk manusia (wadh’i) yang hanya berdasarkan pertimbangan
citra rasa dan kesenangan belaka (Tazawwuq dan Talazzuz)
2) Allah swt
memerintahkan kita untuk kembali kepada nash atau qiyasapabila kita
berselisih paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti Firmannya dalam QS. An Nisa
; 59.
3) Nabi
Muhammad saw tidak pernah memberikan fatwa dengan menggunakan Istihsan.
Misalnya ketika beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata kepada
istrinya ”Kamu bagiku mirip punggung ibuku”. Beliau tidak
memberikan fatwa bersdasarkan Istihsan. Akan tetapi menunggu hingga
turun ayat tentang Zihar beserta kafaratnya. Atas dasar
inilah, kita wajib menghindar penggunaan Istihsan tanpa adanya
topangan nash.
4) Nabi saw
juga tidak memperkanankan sahabat memeberi fatwa atau bersikap
berdasarkan istihsan. Seperti pada kasus Usamah yang membunuh
musuhnya yang telah mengucapkan kalimat Laa Ilaa ha Illa Allah,
karena kalimat itu di ucapkan di saat terdesak dan ancaman pedang yang
terhunus.
5) Istihsan tidak
memiliki batasan yang jelas dan kreteri-kreteian yang bias dijadikan standar
untuk membedakan antara haq dan batil, seperti halnyaqiyas. Sehingga
bisa menimbulkan bias.
4. Macam-macam istihsan
a. Istihsan
dilihat dari aspek pengalihan
1) Mengalihkan
qiyas zhohir mengambil qiyas khofi.
Contohnya pada kasus tanah wakaf pertanian (sawah). Dilihat dari kacamata
qiyas kewajiban mengairi tanah (sawah) tersebut tidak otomatis termasuk wakaf
tanah pertanian tersebut, apalagi memang tidak disebutkan saat mewakafkannya.
Alasannya karena qiyas zhohir, yaitu mengqiyaskan wakaf kepada jual beli
dimanan apabila terjadi transaksi atas suatu barang maka terjadi pemindahan
kepemilikan sesuai akad yang disepakatinya/ dikemukannya.Namun apabila dilihat
dari kacamata istihsan maka kewajiban mengairi tanah wakaf (sawah) masuk dalam
akad wakaf. Alasannya mengalihkan/mengabaikan hasil qiyas zhohir mengambil
hasil qiyas khofi. Karena tujuan dari wakaf tersebut adalah memanfaatkan hasil
dari pertaniantersebut. Dan sawah itu tidak akan menghasilkan/mendatang-kan
manfaatapabila tidak diairi.
2) Mengalihkan
nash yang bersifat umum, mengambil hukum khusus. Contohnya
pada kasus Umar ra yang membatalkan hukum potong tangan seorang pencuri karena
kejadiannya saat terjadi musim paceklik/kelaparan. Padahal ayat potong tangan
itu cukup jelas (QS. Al Maidah: 38). Juga pada jual beli salam. Berdasarkan
dalil umum tidak boleh. Karena Nabi saw bersabda: ”Janganlah kamu menjual yang tidak kamu miliki” (HR. Ahmad). Namun karena ada dalil khusu maka jual
beli salam dibolehkan. Sabda Nabi SAW ”Siapa yang melakukan jual beli salam, maka harus jelas ukuran, timbangan
dan watunya” (HR. Bukhori)
3) Mengalihkan/mengabaikan
hukum kulli mengambil hukum istitsna’ (pengkecualiaan).
Contohnya pada orang yang makan saat puasa karena lupa. Kaidah umum,
puasanya batal karena salah satu rukunnya, yaitu alimsak telah rusak. Namun
karena ada dalil khusus yang mengkecualikannya, maka puasanya tidak batal.
Yaitu sabda Nabi saw: “Siapa yang lupa padahal ia
tengah puasa lalu ia makan atau minum, hendaknya ia menyempurnakan puasanya.
Sesungguhnya itu adalah makan dan minum yang diberikan Allah”.
b. Istihsan
dilihat dari sanad atau sandaran yang digunakan dalam pengalihan/ atau
pengabaian.
1) Istihsan
yang sanad/sandarannya berupa quwwatul atsar/riwayat yang kuat.
Contohnya pada kasus sisa air minum unggas carnivora sepeti burung elang,
rajawali atau burung pemakan bangkai. Dilihat dari kacamata qiyas maka air itu
menjadi najis. Yaitu apabila diqiyaskan kepada hewan buas. Karena ada kesamaan
illatnya yaitu sama-sama hewan yang dagingnya haram dimakan. Namun apabila
dilihat dari kacamata istihsan, hukum air itu suci namun makruh. Karena hewan
burung minum dengan paruhnya. Dan paruhnya adalah suci karena ia sejenis tulang
yang kering. Ini berbeda dengan hewan buas yang minum dengan lidahnya yang
mengandung air liur yang bersumber dari dagingnya yang najis/ haram.
2) Istihsan
yang sandarannya berupa maslahat
Contohnya pada kasus ‘al ajir al musytarok’ (pekerja yang terikat pada
banyak orang) seperti tukang jahit, yang menghilangkan/ kehilangan bahan.
Dilihat dari kacamata qiyas, ia tidak wajib mengganti apabila bukan karena
kelalaiannya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan ia wajib
menggantinya untuk menjaga agar hak milik orang tidak disia-siakan.
3) Istihsan
yang sandarannya berupa ijma
Contohnya pada kasusu akad Istishna’ (pesanan). Menurut qiyas semestinya
akad itu batal. Sebab objek akad tidak ada ketika akad itu berlangsung. Akan
tetapi transaksi model ini telah dikenal dan sah sepanjang zaman, maka ia
dipandang sebagai ijma’ atau ’urf ’aam yang dapat mengalahkan dalil qiyas. Yang
demikian ini berarti merupakan perpindahan dari suatu dalil ke dalil yang
lainyang lebih kuat.
4) Istihsan
yang sandarannya berupa qiyas
Contohnya pada kasus wanita yang perlu pengobatan khusus. Pada hakikatnya
seluruh tubuh wanita adalah aurat. Akan tetapi dibolehkan untuk melihat
sebagaian tubuhnya karena hajat. Seperti untuk kepentingan pengobatan oleh
seorang dokter. Di sini terdapat semacam pertentangan kaidah, bahwa seorang
wanita adalah aurat, memandangnya akan mendatangkan fitnah. Sementara disisi
lain akan terjadi masyaqqoh apabila tidak diobati. Dalam hal ini dipakai illat,
at taysir (memudahkan).
5) Istihsan
yang sandarannya darurat.
Contohnya pada sumur yang kejatuhan najis. Apabila sumur itu dikuras sangat
tidak mungkin. Karena alat yang digunakan pasti terkontaminasi kembali dengan
najis tersebut. Namun dengan pertimbangan darurat hal itu dapat dilakukan.
6) Istihsan
yang sandarannya berupa ’urf (budaya/ kebiasaan)
Contoh orang yang bersumpah tidak makan daging (lahman). Namun kemudian ia
makan ikan. Berdasarkan qiyas ia telah melanggar sumpahnya karena Al Qur’an
menyebut ikan dengan kata ”lahman toriyyan” . Namun berdasarkan ’urf, ikan itu
berbeda dengan daging.
5. Contoh
Hukum Syara' melarang menjual benda yang tidak ada,
atau menjalin ikatan transaksi terhadap benda yang tidak ada, tetapi memberikan
kekecualian berdasarkan istihsan dalam beberapa masalah, seperti salam, ijarah
muzara'ah di mana semua akad ini objeknya belum ada. Dasarnya adalah kebutuhan
masyarakat terhadap akad-akad tersebut, dan disitulah letak kebaikannya.
B. Maslahah
Mursalah
1. Pengertian
Maslahah mursalah menurut
bahasa terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Katamaslahah berasal dari kata bahasa arab صَلَحَ – يَصْلُحُ menjadi صُلْحًا atau مَصْلَحَةً yang
berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal
dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu: اَرْسَلَ – يُرْسِلُ – اِرْسَالاً- مُرْسَلٌ menjadi مُرْسَل yang
berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum
islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).
Secara etimologi, ahli ushul fiqih mengatakan bahwa maslahah mursalah ialah
menetapkan suatu hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya dan tidak ada ijma,
berdasarkan kermaslahatan murni atau masalah yang tidak dijelaskan syariat dan
dibatalkan syariat.
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan maslahah mursalah adalah jalan
kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau
meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau
menghindarkan mudharat. Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa, maslahah
mursalah adalah maslahah
yang masuk dalam pengertian umum yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat).
Alasannya adalah syariat Islam datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk
umum. Nash-nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban
memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek
kehidupan.
Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman,
bahwasanya maslahah mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu masalah atas dasar kemaslahatan yang
secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash, yang apabila dikerjakan jelas
membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan jelas akan
mengakibatkan kemaslahatan yang bersifat umum pula.
2. Macam-macam Maslahah
Mursalah
Berdasar dari beberapa pengertian maslahah
mursalah, para ahli Ushul Fiqih mengemukakan beberapa pembagian maslahah,
jika dilihat dari beberapa segi diantaranya:
a. Dari segi
keberadaan Maslahah menurut Syara’
1) Maslahah
al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh suyara’
meksudnya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan
tersebut.
2) Maslahah
Al-Mughah; kemaslahatan yang ditolak syara’, karena
bertentangan dengan ketentuan syara’,
3) Maslahah
Mursalah; kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung
syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’melalui dalil-dalil yang rinci.
Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi atas dua yaitu:
a) Maslahah
al-ghariban, yaitu kemaslahatan yang asing atau kemaslahatan yang
sama sekali tidak ada dukungan dari syara’.
b) Maslahah
al-mursalah, kemaslahatan yang tidak didukung oleh serkumpulan
makna nash (ayat atau hadist)
b. Dari segi
Kandungan Maslahah
1) Maslahah
al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan
orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk semua kepentingan
orang , tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas ummat/kelompok.
2) Maslahah
al-khasha, yakni kemaslahatan pribadi seperti kermaslahatan
yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan
hilang (magfud)
Pentingnya pembagian kedua kemaslahatan ini
berkaitan dengan mana yang harus didahulukan apabila kemaslahatan umum
bertentangan dengan kemaslahatan pribadi. Dalam pertentangan ke dua
kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan
pribadi.
c. Dari segi
berubah atau tidaknya Maslahah
1) Maslahah
al Tsabitah, yakni kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak
berubah sampai akhir zaman. Misalnya kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji.
2) Maslahah
al Mutagayyirah, yakni kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan
perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum.
Pentingnya pembagian ini menurut Mustafa Al Syalabi,
dimaksudkan untuk memberi batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan
tidak.
3. Tingkatan Maslahah
Mursalah
a. Tingkatan
pertama; maslahah dharuriyah
Maslahah dharuriyah ialah segala apek yang
bersifat esensial bagi kehidupan manusia, dan karena itu wajib ada sebagai
syarat mutlak terwujudnya kehidupan dan kemaslahatan manusia, baik ukhrawi
maupun duniawi.
b. Tingkatan
kedua; maslahah hajiyyah
Maslahah hajiyyah ialah segala yang
menjadi kebutuhan primer (pokok) manusia dalam hidupnya, agar hidupnya bahagia
dan sejahtera dunia akhirat serta terhindar dari kemelaratan. Jika kebutuhan
ini tidak diperoleh maka kehidupan manusia mengalami kesulitan meskipun
kehidupan mereka tidak sampai punah.
c. Tingkatan
ketiga ; Maslahah Tasniyah
Yakni, suatu kebutuhan hidup yang sifatnya
komplementer (sebagai pelengkap) dan lebih menyempurnakan kesejahteraan hidup
manusia. Jika kemaslahatan ini tidak terpenuhi maka hidup manusia kurang indah
dan kurang nikmat, kendatipun tidak sampai menimbulkan kemudharatan dan
kebinasaan hidup.
Mengenal tingkatan-tingkatan kemaslahatan dan
karakteristiknya yang bersifat kully atau mutlak dan juz’iy atau
nisbi (relatif) adalah sangat penting terutama dalam menetapkan hukum pada
tiap-tiap perbuatan dan persoalan yang dihadapi manusia. Misalkan saja,
memelihara jiwa itu bersifat dharuriyyang hukumnya mencapai derajat
wajib lidzhati, karenanya hukum tersebut tidak berubah kecuali jika
diperhadapkan pada soal lain yang sifat dharuriy-nya lebih
tinggi, misalnya demi memelihara aqidah maka jiwa dapat saja dikorbankan.
Sementara itu, memelihara bersifat hajiyah, sehingga hukumnya hanya
sampai pada derajat wajib lighayrih, dalam arti wajib karena
terkait dengan persoalan lain, yakni ia terkait dengan persoalan hidup yang
sifatnyadharuriyah.
Selain itu menempatkan kehidupan bernegara sebagai
cara hidup berjamaah adalah wajib secara dharuriyah, karena
hal ini pada posisi terpenting kedua sesudah pemeliharaan aqidah, maka syariat
mengharuskan seseorang mengorbankan jiwanya demi membela bangsa dan negaranya.
Dalam kaitannya dengan perlunya negara itu, haruslah ada seorang pemimpin dan
lembaga-lembaga negara lainnya. Tetapi kedudukan lembaga-lembaga negara yang
mencakup pemimipin dan waliyul amri, tidak bersifat dharuriyah,
tetapi hanya bersifat hajiyah, yang diperlukan guna memudahkan
terselenggaranya suatu jamaah (negara) dengan baik. Tanpa institusi-institusi
itu, negara tidak dapat terselenggara dengan baik. Akan tetapi, karena sifatnya
hanyalahhajiyyah, maka syariat tidak membenarkan adanya korban jiwa demi
mempertahankan kedudukan seorang pemimpin.
Dari uraian-uraian di atas dapat difahami bahwa ketiga
kemaslahatan di atas adalah dasar-dasar yang diperhatikan oleh syara’ dalam
mengukur teori maslahah mursalah, baik macam maupun tingkatannnya.
Ketiganya perlu dibedakan sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas
dalam mengambil suatu kemaslahatan. Dimana kemaslahatan dharuriyah harus
lebih didahulukan daripada kemaslahatan hajiyyah dan
kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari
kemaslahatan tahsiniyah
4. Kedudukan
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan
mashalihul mursalah sebagai sumber hukum.
a. Jumlah ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan
alasan :
1) Bahwa dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan,
syariat senantiasa
memperhatikan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun
kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syariat melalui petunjuknya.
2) Pembinaan hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada
maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
b. Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara
mutlak. Namun menurut Imam Syafi'i boleh berpegang kepada mashalihul
mursalah apabila sesuai dengan dalil dengan dalil kully atau dalil juz'iy dari
syara. Pendapat kedua ini berdasarkan:
1) Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada
habis-habisnya. Jika pembinaan hukum dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya
dari syari' (Allah), tentu banyak
kemaslahatan yang tidak ada status
hukumnya pada masa dan tempat yang berbeda-beda.
2) Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak
menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari
syari'. Misalnya membuat penjara, mencetak
uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al Qur'an dan
sebagainya.
5. Contoh
Para
sahabat Nabi Muhammad saw. telah menggunakan maslahah mursalahdalam
menentukan suatu hukum, meskipun syara' tidak menetapkan dasar hukumnya,
Misalnya langkah sahabat Abu Bakar Shidiq mengumpulkan mushaf Al Qur'an atas
saran Umar bin Khatab. Begitu pula penyeragaman tulisan Al Qur'an oleh Utsman
bin Affan. Dalam pernikahan juga disyaratkan adanya Surat atau Akta Nikah untuk
keperluan gugatan cerai, pembagian harta pusaka dan sebagainya. Meskipun semua
itu tidak ada dasar hukum Syara'nya, namun sangat bermanfaat dan memberikan
kebaikan bagi umat.
C. Istishâb
1. Pengertian
Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa
serta dan tidak melepaskan sesuatu. Istishab adalah
menetapkan hukum yang ada pada waktu yang lalu dan menetapkan pula berlakunya
sampai ada dalil yang mengubahnya. Dengan kata lain, istishab adalah menjadikan
hukum satu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa
berikutnya, kecuali ada sumber hukum yang mengubah ketentuan hukum itu.
Menurut Al Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab)
adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa
selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak
adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut)”.
Menurut Al Qarafy (w. 486H) mendefinisikan istishhab sebagai
“keyakinan bahwa keberadaan sesuatu di masa lalu dan sekarang itu
berkonsekwensi bahwa ia tetap ada (eksis) sekarang atau di masa datang.”
Menurut istilah ahli usul fikih, istishab adalah
membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa lampau
dan masih diperlukan ketentuannya sampai sekarang, kecuali jika ada dalil lain
yang mengubahnya.
Dari definisi diatas menunjukkan bahwa istishhab sesungguhnya
adalah penetapan hukum suatu perkara baik itu berupa hukum ataupun benda di
masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku
sebelumnya. Seperti ketika kita menetapkan bahwa si A adalah pemilik rumah atau
mobil ini, entah itu melalui proses jual-beli atau pewarisan, maka selama kita
tidak menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut,
kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si A-lah pemilik rumah atau mobil
tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan kata lain, istishhab adalah
melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau
nanti.
2. Macam-macam Istishab
a. Istishab
Aql
Istishab aql adalah suatu keyakinan umum dalam rangka
mendalami agama sehingga ulama membedakan ajaran agama menjadi dua bagian,
yaitu ibadah (tidak sepenuhnya sama dengan fiqih ibadah) dan muamalah (tidak
sepenuhnya sama dengan fiqih muamalah).
b. Istishab
Syara
Istishab Syara adalah suatu perbuatan
yang tegak karena perintah Allah dan Rasulullah serta tidak ada dalil yang
mengubah perintah tersebut. Contohnya adalah wudu dan jumlah rakaat salat.
3. Kedudukan Istishab sebagai
Sumber Hukum
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi
seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari Al Qur’an, Sunnah, ijma’
atau qiyas. Al Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang
mengatakan:
“Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam
berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus
mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian
qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh)
menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa
sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu,
maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku…”
Dalam menyikapi apakah istishhab dapat dijadikan sebagai dalil dalam proses penetapan hukum, para ulama
Ushul Fiqih terbagi dalam 3 pendapat:
a. Istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun
penafian sebuah hukum.
Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah,
mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.
1) Firman Allah:
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan
dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan
kecuali jika adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi…” (QS. Al An’am:145)
Ayat ini menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya
mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini
ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak
menemukan…” . Pernyataan ini
menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang
berlaku.
2) Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya)
lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!’ Maka (jika
demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara
atau mencium bau.”(HR. Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk tetap
memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam
keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa wudhu’nya telah
batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan shalatnya hingga
menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yaitu mendengar suara atau mencium
bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.
3) Ijma’.
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih
yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah bahwa para ulama telah berijma’
bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti
ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika
ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum,
maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah
bersuci dan kesucian itu belum batal
4) Dalil
‘aqli.
Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini
adalah:
a) Bahwa
penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya faktor yang
menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum tersebut sangat kuat
(al-zhann
al-rajih). Dan dalam
syariat Islam, sebuah dugaan kuat (al-zhann al-rajih)adalah hujjah, maka dengan demikian istishhab adalah hujjah pula.
b) Disamping
itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka
penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan, berdasarkan kaidahal-yaqin la yazulu/yuzalu bi
al-syakk.
b. Istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak.
Tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak.baik dalam menetapkan
hukum ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.
Di antara dalil dan pegangan mereka adalah
1) Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil.
Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti
bahwa istishhab adalah sesuatu yang batil.
2) Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang
menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang
boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhab, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan
dengan itu atas dasar istishhab pula.
c. Istishhab adalah hujjah pada saat membantah.
Hujjah pada saat membantah orang yang memandang terjadinya perubahan
hukum yang lalu (bara’ah al dzimmah) dan tidak dapat sebagai hujjah untuk menetapkan suatu hukum baru. Pendapat
ini dipegangi oleh mayoritas ulama Hanafiyah belakangan dan sebagian Malikiyah.
Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka membedakan kedua hal ini adalah
karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu di masa sebelumnya, dan itu tidak
bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan hukum baru di masa
selanjutnya.
4. Contoh
Seseorang yang ragu-ragu apakah dirinya sudah
mengambil air wudlu atau belum. Dalam hal ini, ia harus berpegang pada
keyakinan dirinya belum mengambil air wudu, sebab itu yang asal (tidak
berwudlu), dan orang yang salat tanpa wudlu tidak sah. Akan tetapi, jika ia
yakin bahwa dirinya telah berwudlu dan tidak batal, maka ia harus berpegang
kepada keyakinannya, yaitu belum batal dari wudlu. Keraguan harus dihilangkan
oleh keyakinan, bila yakin sudah berwudu dan belum batal, maka tidak perlu
mengambil air wudu kembali. Akan tetapi, jika yakin wudunya telah batal atau
belum berwudlu, maka segeralah berwudlu.
D. Uruf
1. Pengertian
Urf menurut bahasa berarrti mengetahui, kemudian
dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan
diterima oleh pikiran yang sehat.
‘Uruf adalah apa-apa yang saling diketahui oleh manusia dan mereka
mempraktekannya, baik perkataan atau perbuatan atau meninggalkan. Sedangkan
menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh
manusia dan mereka maenjadikan tradisi
2. Macam-macam Uruf
Pembagian ‘uruf ada dua diantaranya:
a. ‘Uruf
shahihah yaitu suatu kebiasan yang bisa dijadikan landasan hukum.
1) ‘Uruf
shohih ‘am
Adalah suatu kebiasaan yang telah disepakati oleh setiap manusia dimanapun
dan kapanpun mereka berada. Dan ‘urf ‘am ini termasuk kategori ijma’ bahkan
mempunyai status yang lebih universal dari pada ijma’. Seperti sesuatu yang
diberikan oleh laki-laki kepada wanita pinangannya berupa perhiasan dan pakain
adalah hadiah yanh tidak termasuk sebagian dari maskawinnya.
2) ‘Uruf
shohih khos
Adalah suatu kebiasaan yang hanya diakui oleh satu negara, satu propensi
ataupun sekelompok masyarakat, seperti halnya dalam masalah perniagaan atau
bercocok taman dan lain sebagainya. Dan ‘uruf yang seperti ini ketika dijadikan landasan dari sebuah
hukum, maka status keputusnya tidaklah valid.dan hanya berlaku di tempat dan
pada masa keputusan hukum tersebut di tetapkan. Karena ‘uruf khos ini bersifat
dinamis yang selalu berubah seiring perubahan zaman .
b. ‘Uruf
fasidah yaitu suatu kebiasan yang tidak bisa dijadikan landasan hukum,
karena bertentangan dengan nash-nash qot’i
3. Kedudukan
sebagai sumber hukum
‘Uruf juga bisa dijadikan landasan
hukum dalam masalah fiqhiyyah apabila sudah tidak memenukan hukum dalam Al
Qur’an. Dengan berlandaskan sebuah hadist yang artinya : Suatu kebiasaan yang
dinilai baik oleh orang-orang islam, juga dinilai baik disisi Allah.
Bahkan imam jalaluddin As-Sayuti dalam kitab asybah wa an nadloir mengatakan bahwa ketetapan
berdasarkan ‘uruf termasuk dalam kategori ketetapan berdasaekan dalil
syar’i. dan juga dalam masalah ini, ada satu kaidah yang masyhur dikalangan
ulama’ yang artinya : Apa yang terkenal sebagai ‘uruf sama dengan yang ditetapkan
sebagai syarat, dan sesuatu yang tetap karena ‘uruf sama dengan yang tetap
karena nash.
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat
dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum
atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan
penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat
dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal dengan Qoul Qadim dan Qoul Jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat
Bagdad dan Mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima,
hal itu jelas karean bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umam nas
4. Syarat-syarat Uruf
a. Urf ini berlaku umum artinya
dapat diberlakukan untuk mayoritas persoalan yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat.
b. ‘Urf telah memasyarakat ketika persoalan yang akan
ditetapkan hukumnya. Artinya ‘urf itu lebih dulu ara sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
c. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara
jelas dalam suatu transaksi
Jika terjadi pertentangan ‘urf dengan dalil syara’ di tengah-tengah masyarakat, maka
pertentangan tersebut adalah:
a. Pertentangan ‘urf dengan nash
yang bersifat khusus atau rinci, maka ‘urf tidak dapat diterima, seperti
kebiasaan orang jahiliyah menyamakan kedudukan anak yang diadopsi dengan anak
kandung dalam masalah warisan harus ditinggalkan.
b. Pertentangan ‘urf dengan nash
yang bersifat khusus, maka ‘urf harus dibedakan antara ‘urf al-lafzidengan ‘urf
al-amali, jika ‘urf itu ‘urf al-lafzi, maka dapat diterima, dengan
alasan tidak ada indikator bahwa nash umum tidak dapat dikhususkan oleh ‘urf. Seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Untuk ‘urf al-amali terjadi perbedaan pendapat ulama hanafiyyah jika ‘urf
al-amali bersifat umum, maka ‘urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash yang umum.
c. ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang
bertentangan dengan ‘urf tersebut, maka ulama sepakat mengatakan bahwa ‘urf seperti ini, baik lafzi maupun amali tidak dapat
dijadikan hujjah dalam menerapkan hukum syara’. Seperti kerelaan anak perawan
ketika dinikahkan dengan diamnya, maka sesuai dengan perkembangan zaman tidak
dapat diterima lagi, karena pada saat sekarang anak perawan sudah berani
mengatakan iya atau tidak terhadap setiap perkataan orang tuanya.
5. Contoh Uruf
'Urf perbuatan, misalnya dalam
melakukan transaksi jual beli, jarang ada orang yang melakukan ijab kabul
ketika mereka saling menyerahkan barang (bagi pedagang) dan uang (bagi
pembeli), dengan mengucapkan “Saya terima barangnya dan ini uangnya.“
Hal itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada umumnya, sehingga jual beli
dianggap sah meskipun tidak melalui ijab kabul. Sedangkan ‘Urf ucapan,
misalnya kebiasaan orang Arab mengucapkan kata walad, bisa berarti anak
laki-laki bisa juga anak perempuan. Contoh 'Urfyang ditinggalkan
ialah kebiasaan bangsa Arab mengartikan kata Samak dengan daging ikan, padahal
ada kata "Lahmun" yang mempunyai arti daging, tanpa membedakan
daging ikan atau daging binatang sembelihan.
E. Saddudz
Dzarî’ah
1. Pengertian
Saddudz dzarî’ah terdiri
atas dua perkara yaitu saddu dan dzarî’ah. Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzarî’ah berarti jalan. Maksudnya, menghambat atau menghalangi
atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî’ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan
atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari
kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum
atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari
kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syari’at menetapkan perintah-perintah dan
larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada
yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat
dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya.
Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang
lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar
shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam
hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak wajib. Tetapi karena ia
menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung
kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat,
sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan
itu yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung.
Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan
sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang
menjual minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada
hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi
perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu
dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan
kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama
dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju
kearah perbuatan-perbuatan maksiat.
2. Dasar
Hukum
a. Al Qur’an
Ÿ
“ dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali
mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS.
Al An’am ; 108)
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat
ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini
dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki
Allah secara melampaui batas
“…dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…” (QS. An Nur ; 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar
gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan
menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu
dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan
zina.
b. Hadis
“Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat
yang (dilakukan) keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar
tanaman itu, ia akan terjerumus ke dalamnya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan
yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan
terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara
diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan
yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.
3. Kedudukan Saddudz
Dzarî’ah
a. Menurut
Imam Malik bahwa saddudz dzari'ah dapat dijadikan sumber hukum, sebab sekalipun
mubah akan tetapi dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh agama.
Al-Qurtubi, seorang ulama Madzhab Maliki menyatakan :
"Sesunggunya apa-apa yang dapat mendorong terjerumus kepada perkara
yang dilarang (maksiat) adakalanya secara pasti menjerumuskan dan tidak pasti
menjerumuskan”.
Yang pasti menjerumuskan kepada maksiat bukanlah
termasuk suddudz dzari'ah tetapi harus dijauhi, sebab perbuatan maksiat wajib
ditinggalkan. Yang tidak pasti menjerumuskan kepada maksiat, itulah yang
termasuk suddudz dzari'ah.
Guna menjauhkan diri dari terjerumus kepada
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama, maka kita wajib menjauhkan diri
dari perkara-perkara yang lahirnya mubah, tetapi lambat laun dapat membawa dan
mendorong kita kepada perbuatan maksiat.
b. Menurut
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa Saddudz Dzari'ah tidak dapat dijadikan
sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap
diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadits Nabi saw. dikatakan :
"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa
yang tidak meragukan".
"Bagi siapa yang berputar-putar di sekitar
larangan (Allah) lama kelamaan dia akan melanggar larangan tersebut".
4. Contoh
Sudah merupakan adat dan kebiasaan bagi sebagian masyarakat
kita, jika mereka mengadakan walimah anaknya, atau walimah khitan putranya
selalu mengadakan pertunjukan, seperti pertunjukan wayang golek, layar tancap,
orkes dangdut, dan sebagainya.
Sebenarnya, mengadakan pertunjukan hiburan tidak
apa-apa (boleh), hanya saja peristiwa tersebut sering dijadikan ajang keributan
antarpemuda, mabuk-mabukan, tawuran antarkampung, porno aksi dengan busana
artis yang seronok dandanannya, dan hal-hal lainnya. Oleh sebab itu, agar
hal-hal negatif tersebut tidak terjadi, maka hendaknya jalan yang menuju ke
arah itu, yakni pertunjukan hiburan hendaknya ditiadakan, dan menggantinya
dengan kegiatan yang positif, seperti pengajian atau siraman rohani lainnya.
Tindakan yang demikian itu, disebut Syaduz zarai'.
F. Syar’u Man
Qablana.
1. Pengertian
Definisi syar’u man qablana adalah
hukum-hukum yang telah disyari’atkan Tuhan kepada umat-umat sebelum kita yang
diturunkan melalui para Nabi dan para Rasul untuk disampaikan kepada seluruh
masyarakat pada waktu itu.
Syar’u man Qablana merupakan syari’at
para nabi terdahulu sebelum adanya syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad. Telah diketahui bahwasyar’u man qablana adalah salah satu
dari sekian banyak metode istinbat(penggalian) hukum Islam,
walaupun tampak adanya warna-warna yang mengindikasikan syar’u man qablana hanya
sebagai penguat teks-teks keagamaan dan bukan dijadikan sebagai petunjuk untuk
menggali hukum, namun seringkali ia tetap dijadikan sebagai metode. Berkaitan
dengan hal tersebut, para ahli usul al-fiqh menggunakan syar’u
man qablana untuk membedakan antara syari’at atau hukum sebelum Nabi
Muhammad menjadi seorang rasul dan hukum di saat ia diutus sebagai rasul. Namun
demikian, tampaknya para ahli usul al-fiqh memiliki perspektif
yang berbeda dalam memandang syar’u man qablana. Perbedaan
tersebut tampak ketika mereka membahas keterikatan Nabi Muhammad setelah
menjadi Nabi dan pengikutnya terhadap syari’at-syari’at sebelumnya.
Terlepas dari perbedaan ini, yang jelas ada suatu
kesepakatan para ahli usul al-fiqh bahwa tidak semua syari’at
sebelum Islam di-naskh (diganti) oleh Islam, bahkan di antara
syari’at-syari’at tersebut ada yang masih diakui dan mengikat umat Islam secara
keseluruhan. Sejak adanya kesepakatan tersebut, maka syar’u man qablana dapat
dianggap sebagai sebuah solusi terhadap kebimbangan dan kemelut syari’at yang
dihadapi dan selanjutnya bernaung dalam sebuah metodologi yang disebut usul
al-fiqh (metodologi hukum Islam). Namun demikian, posisi syar’u
man qablana tampaknya tidak sejelas ketika ia diperkenalkan untuk
pertama kalinya, dan bahkan apabila dibandingkan dengan metodologi usul
al-fiqh lainnya (seperti qiyas, istihsan, istislah,istishab),
ia sudah tidak lagi populer bahkan cenderung ditinggalkan, posisinya kini
hanyalah sebagai sebuah pajangan atau simbol yang merupakan warisan dari
perjalanan intelektual para ahli usul al-fiqh.
2. Kedudukan syar’u
man qablana sebagai Sumber Hukum
Sejak syar’u man qablana diangkat ke permukaan untuk selanjutnya dijadikan sebagai metode, maka
sebagai sebuah pembatas (takhsis) sekaligus nasikh terhadap syari’at-syari’at terdahulu kontribusi syar’u man qablana bukan merupakan sebuah kontribusi yang dapat dipandang
sebelah mata. Justru dengan adanya metode istinbat seperti ini, umat Islam
memperoleh kepastian hukum dengan cara mengindentifikasi syari’at-syari’at yang
dibatalkan dan syari’at-syari’at yang masih berlaku.
Identifikasi hukum tersebut bisa dibaca dalam ayat-ayat Al Qur’an yang
secara tekstual menyebut syari’at umat terdahulu, kemudian hal ini dipahami
kembali oleh para ahli usul al-fiqh sebagai bukti peran dan kiprah syar’u man qablana dalam percaturan hukum Islam kala itu. Misalnya Q.S.
al-An’am ayat 146 yang artinya sebagai berikut :
“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala
binatang yang berkuku. Sedangkan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka
lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya
atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang.
Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya
Kami adalah Maha Benar”.
Pesan normatif di atas menceritakan apa yang diharamkan kepada umat Yahudi,
namun hal tersebut tidak berlaku bagi umat Islam karena ada ayat lain dalam
Alqur’an yang membatalkan ketentuan tersebut. Ayat yang dimaksud adalah Q.S. Al
An’am ayat 145 yang terjemahnya sebagai berikut :
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi
(karena sesungguhnya semua itu kotor) atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Contoh lain bahwa pada zaman Nabi Musa cara menebus dosa (bertobat) atas
kesalahan yang telah dilakukan adalah dengan bunuh diri. Setelah Islam datang,
syari’at tersebut kemudian tidak berlaku lagi (mansukh) dengan turunnya Q.S. Huud : 3,
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan
bertaubat kepada-Nya”.
Berdasarkan pesan dalam ayat di atas, umat Muhammad yang ingin menebus dosa
cukup berhenti melakukan perbuatan yang dipandang memiliki konsekuensi dosa dan
menyesali perbuatan yang telah dilakukan dengan dibuktikan secara nyata adanya
tekad yang terealisasi secara empiris bahwa perbuatan dosa tersebut tidak
diulangi lagi. Begitu juga dengan kotoran yang dipandang najis apabila mengenai
salah satu pakaian. Dalam syari’at terdahulu pakaian tersebut harus dipotong
sesuai dengan bagian pakaian yang kena najis. Namun setelah Islam lahir,
kewajiban seperti ini tidak ditetapkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya.
Kenyataan ini dapat dilihat pada Q.S. Al Mudatsir: 4 “ Dan pakaianmu
bersihkanlah”.
Berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an di atas, para ahli usul al-fiqh dapat menentukan dengan mudah bahwa syar’u man qablana semacam itu sudah tidak berlaku lagi karena telah
dibatalkan atau diganti (mansukh) oleh ayat
Alqur’an sendiri yang nota bene merupakan syari’at Nabi Muhammad.
Selain itu, terdapat pula kontribusi Syar’u man Qablana dalam bentuk lain yang tampak berlawanan dengan bentuk
di atas. Pada bentuk itu, syari’at Islam membatalkan syari’at terdahulu, namun
pada bentuk kedua ini justru Nabi Muhammad dan umatnya mewarisi dan melanjutkan
apa yang telah ditetapkan oleh umat terdahulu. Di antara warisan hukum itu
dapat dilihat pada Q.S. Al Baqarah : 183 , “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa”.
Warisan lain yang ditetapkan untuk umat Nabi Muhammad adalah perintah
berkurban yang sebelumnya pernah diwajibkan kepada Nabi Ibrahim. Ketentuan itu
tetap diberlakukan untuk Muhammad dan umatnya berdasarkan pernyataan Nabi
Muhammad sendiri melalui sabdanya:“Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah
bapakmu, yaitu Ibrahim”.
Kedua persoalan hukum di atas tampak mudah diselesaikan dengan metode syar’u man qablana, bahkan tampaknya tanpa adanya metode tersebut
dimungkinkan hukum-hukum di atas dapat diidentifikasi karena adanya penjelasan
kongkrit yang secara eksplisit sudah dijelaskankan Tuhan melalui ayat-ayat Al
Qur’an. Kendati demikian, pernyataan ini bukan berarti bahwa syar’u man qablana telah kehilangan peran dalam metodologi usul al-fiqh, tetapi justru pentingnya syar’u man qablana adalah untuk menentukan dan menyelesaikan kemulut
persolan yang dihadapi oleh para ahli usul al-fiqh, terutama yang berkaitan dengan adanya dalil normatif
yang diterima Nabi Muhammad seraya menceritakan sebuah peraturan tentang
kewajiban umat terdahulu, namun tidak ditemukan ketentuan yang menghendaki
peraturan tersebut tetap diberlakukan atau dibatalkan, baik dari dalil itu
sendiri atau pada dalil lain. Misalnya Q.S. Al maidah :32, “Oleh karena itu Kami
tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah
datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan
yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.”
Begitu juga pada Q.S. Al Maidah : 45 “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya
(Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada
kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas)-nya, maka melepaskan hak itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
Pada kedua ayat di atas terlihat dengan jelas bahwa Tuhan menceritakan
adanya kewajiban kepada Bani Israil hukum yang tercatat dalam Taurat. Namun tidak
menjelaskan apakah ketentuan itu berlaku juga terhadap umat Islam atau tidak.
Tidak adanya kejelasan pada ayat itu menimbulkan berbagai pertanyaan di
kalangan para ahli usul al-fiqh, apakah
hal tersebut diberlakukan juga untuk umat Islam atau tidak mengingat ketentuan
itu terdapat di dalam Alqur’an yang nota benemerupakan kitab suci umat Islam.
Berkaitan dengan masalah tersebut, Bazdawi mengatakan bahwa syari’at
terdahulu yang tidak ditemukan ketegasan pengamalannya bagi umat Islam adalah
tidak berlaku bagi umat Islam sampai ditemukannya dalil yang mewajibkannya.
Namun yang populer dari pendapat Bazdawi adalah tentang anggapannya yang
menyatakan bahwa ketentuan itu merupakan syari’at karena ia dituliskan kembali
dalam Al Qur’an, sehingga ia telah menjadi syari’at Muhammad. Hal ini
ditanggapi berbeda oleh Hazm yang mengatakan bahwa bentuk syari’at seperti itu
hanya merupakan nass atau teks
semata yang tidak perlu diamalkan.
Sedangkan Syairazi mengatakan bahwa perbedaan tersebut tampak semakin
berkembang dengan adanya 3 kelompok yang berkiprah memberikan pendapat yakni:
1) bukan sebagai syari’at umat Islam, 2) sebagai syari’at Islam, kecuali adanya
dalil yang membatalkannya, 3) semua syari’at terdahulu, baik syari’at Ibrahim,
syari’at Musa (kecuali yang telah di-naskh oleh syari’at Isa), dan syari’at Isa sendiri adalah syari’at Islam.
Terhadap perbedaan pendapat ini, Asnawi, menjelaskan bahwa dalam persoalan
tersebut telah ada kesepakatan mayoritas ahli usul al-fiqh, termasuk di dalam dalamnya Fakhruddin ar-Razi,
Saifuddin al-Amidi, Baidawi, dan sebagian ulama Syafi’iyyah yang menyatakan
bahwa syari’at umat terdahulu yang tidak ada kepastian untuk umat Muhammad,
tidak dipandang sebagai syari’at Islam. Hal yang senada juga terdapat dalam
Khallaf, yang mengatakan bahwa syari’at Islam me-naskh syari’at terdahulu, kecuali adanya penegasan bahwa
syari’at tersebut berlaku juga bagi umat Islam. Pendapat yang serupa juga dapat
ditemukan dalam Zuhaili, dengan menambahkan bahwa sebagian ahli usul al-fiqh mazhab Maliki dan mayoritas ulama ilmu kalam
menyatakan penolakannya terhadap syari’at tersebut.
Selain itu, Abdul Wahab Khallaf, juga menceritakan bahwa mayoritas ahli usul al-fiqh mazhab Hanafi, sebagian ahli usul al-fiqh mazhab Maliki dan Syafi’i, berpendapat bahwa syari’at
yang demikian itu diakui dan termasuk dalam syari’at Islam serta kewajiban umat
Islam untuk mengikuti dan mengimplementasikan syari’at tersebut selama tidak
adanya dalil normatif yang secara jelas me-nasakh-nya. Karena, demikian diceritakan Khallaf, syari’at yang diperdebatkan
tersebut adalah hukum-hukum Tuhan yang telah disyari’atkan melalui para
rasul-Nya dan Muhammad juga termasuk dalam perintah tersebut. Selain itu, salah
satu alasan Alqur’an itu diwahyukan adalah untuk membenarkan adanya kitab-kitab
yang diturunkan pada umat sebelumnya, seperti Taurat dan Injil. Oleh karena itu
apabila tidak ada ketentuan Alqur’an yang me-nasakh syari’at
terdahulu, berarti ia diakui di dalam syari’at Islam.
Apabila mengkaji kembali pemikiran para ahli usul al-fiqh di atas, maka sebagai pemeluk Islam yang hidup di
zaman sekarang, tentunya memiliki pilihan di antara dua pilihan sebagai salah
satu langkah ittiba’ atau
memiliki pemikiran lain yang juga tidak terlepas dari dua macam pemikiran di
atas. Namun apabila dihadapkan pada pilihan sebagaimana yang disebutkan di atas
dan diharuskan untuk memilih, penulis lebih cenderung mengikuti pemikiran para
ahli usul
al-fiqh yang pertama,
yakni tidak menerima syari’at-syari’at terdahulu, khususnya yang berkaitan
dengan tidak adanya penegasan untuk diikuti. Bahkan di sini penulis juga lebih
cenderung melihat syari’at Islam terdahulu yang disebutkan dalam Alqur’an
(sebagaimana yang dicontohkan pada Q.S. Al Maidah : 32 dan 45 di atas) hanyalah
sekedar menceritakan kondisi hukum pada zaman itu. Hal ini juga sekaligus
menjelaskan bahwa hokum itu diberlakukan sesuai dengan karakteristik, adat,
sosial dan budaya masyarakat yang hidup pada waktu itu. Oleh karena itulah,
penulis lebih cenderung penggunaan metode syar’u man qablana hanya dimaksudkan untuk dapat mengidentifikasi
hukum-hukum yang sesuai dengan karakteristik masyarakat yang berkembang sesuai
dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai individu yang memiliki hak hidup.
Dengan demikian ada dua bagian penting dalam masalah syar’u man
qablana, yakni :
a. Apa yang
disyari'atkan kepada mereka juga ditetapkan kepada kita umat Nabi Muhammad,
baik penetapannya itu melalui perintah melaksanakan, seperti puasa, maupun
melalui kisah, seperti qishash.
b. Apa yang
disyari'atkan kepada mereka tidak disyari'atkan kepada kita. Misalnya yang
disyari'atkan kepada Nabi Musa, seperti "Dosa orang jahat itu tidak
akan terhapus selain membunuh dirinya sendiri" dan "pakaian
yang terkena najis itu tidak suci kecuali harus dipotdng bagian yang terkena
najis tersebut". Terhadap syari'at jenis kedua ini pada ulama sepakat
untuk ditinggalkan, karena syari'at islam telah menghapusnya.
G. Mazdhab
Shahaby
1. Pengertian Mazdhab
Shahaby
Mazhab Sahabi ialah suatu pendapat yang dikemukakan oleh
seseorang sahabat tentang sesuatu hukum Syara', sesudah wafatnya Rasulullah
SAW. Ketika Rasulullah saw. masih hidup, semua masalah atau peristiwa yang
pemecahan hukumnya tidak terdapat dalam nas Al Qur'an, selalu diserahkan secara
langsung kepada beliau. Namun, sesudah beliau wafat, tugas tersebut dilakukan
oleh sejumlah sahabat yang mempunyai keahlian di bidang hukum Islam, lama
menyertai Rasulullah saw. dan memahami isi kandungan Al Qur'an dengan baik.
Artinya, tugas tersebut dilaksanakan oleh para sahabat yang mempunyai keahlian
berijtihad.
2. Kedudukan
Hukum Mazdhab Shahaby
a. Mazhab
sahabat yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan serta ketetapan Rasul wajib
ditaati, sebab hakekatnya ia merupakan sunnah Rasul.
b. Mazhab sahabat yang berdasarkan hasil ijtihad tetapi telah mereka
sepakati (Ijma Sahaby) dapat dijadikan hujah dan wajib
ditaati, sebab mereka di samping dekat
dengan rasul, mereka mengetahui rahasia-rahasia
tasyri' dan mengetahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa yang sring
terjadi. Contoh mazhab sahabat yang telah mereka sepakati, antara lain ialah
mengenai bagian harta waris bagi nenek, yaitu seperenam.
c. Mazhab
sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujah dan tidak wajib
diikuti. Abu Hanifah dan Imam Syafi'i menyatakan : "Tidak melihat
seorang pun ada yang menjadikan perkataan sahabat untuk dijadikan hujjah",
sebab perkataan sahabat tersebut didasarkan kepadara'yu dan di
antara sahabat sendiri juga berbeda pendapat, dan mereka tidak luput dari
kesalahan.
3. Contoh Madzhab
Sahaby
Pendapat Aisyah yang mengatakan bahwa usia janin dalam
kandungan itu tidak akan lebih dari dua tahun. Beliau mengatakan sebagai
berikut:
"Di dalam perut ibu, kandungan itu tidak berdiam
melebihi dua tahun, berdasarkan ukuran yang biasa mengubah bayang-bayang alat
tahun".